PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN
DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUK
BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.)
Fakhrudin Al Rozi
Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
RINGKASAN
Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan
salah satu komoditas asli Indonesia (native
species) yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam
perdagangan internasional. Produksi
udang windu Indonesia pada perkembangannya mengalami penurunan produksi yang
diantaranya disebabkan serangan bakteri
udang menyala (luminescent
vibriosis) oleh bakteri Vibrio. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif karena bersifat
resisten dan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia. Upaya yang dapat
dilakukan adalah penggunaan musuh alami hama penyakit dan patogen seperti bakteri antagonis. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis, Pseudomonas fluorescens dapat
menghambat Vibrio anguilarum. Bacillus spp. dan Staphylococcus
spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio.
Pemanfaatan
bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari
segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan
penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan dan
mempersiapkan suatu sistem akuakultur organik yang akhir-akhir ini semakin kuat
sehingga penggunaan bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan
sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia. Kepedulian lingkungan, meningkatnya konsumsi ikan, dan
berkembangnya pasar makanan organik telah memunculkan keinginan untuk
mewujudkan akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis dapat
dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik di Indonesia.
Pemenang lomba
Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM)
bidang Lingkungan hidup Tingkat Nasional Tahun 2008 di Surabaya, 31
Oktober – 2 November 2008
I. PENDAHULUAN
Udang
windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan primadona komoditas
perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan
internasional. Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain
merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor,
udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat.
Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging ke produk ikan dan
udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal
ini sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan
ekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri.
Kegiatan budidaya udang windu secara nasional mencapai
puncaknya pada tahun 1991 dan setelah itu menurun drastis karena kegagalan
panen akibat penyakit dan merosotnya daya dukung lahan serta lingkungan. Pada kurung waktu 15 tahun terakhir,
masalah lingkungan sering diperdebatkan sebagai biang kegagalan budidaya udang,
yang disinyalir bermula dari menurunnya kualitas lingkungan air tambak. Dalam sistem budidaya udang intensif,
kontribusi pakan terhadap penurunan kualitas lingkungan air tambak tidak bisa
dipungkuri. Berton-ton pakan sebagai
bahan organik dimasukan kedalam petakan tambak dengan harapan dapat memproduksi
udang secara maksimal (Anonim, 2004c).
Padahal, praktek ini dapat menurunkan kualitas air tambak yang berdampak
pada pertumbuhan mikroorganisme patogen dan hama, serta memberikan tekanan
terhadap kondisi fisiologi udang, yang pada akhirnya menurunkan kemampuan lingkungan tambak. Semula kegagalan budidaya udang windu dijumpai pada
tambak udang intensif, namun akhir-akhir ini pada tambak tradisional juga
banyak mengalami kehancuran.
Permasalahan utama yang dihadapi petambak udang
windu adalah serangan penyakit bakteri udang menyala (luminescent vibriosis), karena udang yang terserang pada keadaan
gelap tampak bercahaya. Penyebab penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto,
2003). Hal ini terjadi karena merosotnya mutu lingkungan budidaya yaitu mutu
air sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan tambak sendiri
(Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio melakukan serangan secara
ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan
kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran.
Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit vibriosis ini melemahkan roda industri
udang nasional.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu,
antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan
bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan
karena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi
bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlah
isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windu
di Jawa Timur ternyata resisten terhadap
berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin,
ampisilin, streptomisin, dan rifampisin.
Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan
bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan
daya dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimia
dan obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Program
eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit
akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit
terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik.
Untuk mengembangkan probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukan
studi mengenai mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan patogen. Salah
satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap patogen udang
yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak. Lactobacillus spp.
dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong,
1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram
et al., 1999), Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang
berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian
hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi
bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya
ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem keamanan hayati untuk
mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang.
II. TELAAH PUSTAKA
2.1 Bakteri Vibrio
sp.
Bakteri Vibrio
merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria. Umumnya bakteri
Vibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut dan
payau. Sejumlah spesies Vibrio
yang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus, V.
anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V.
ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987)
Vibrio sp.
menyerang lebih dari 40 spesies ikan
di 16 negara. Vibrio
sp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek yang
bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 –
1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et al., (1990), karakteristik
spesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalah
oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129
(Logan, 1994 cit. Gultom, 2003).
A. Vibrio harveyii (Anonim,
2000)
|
B. Bioluminescens
(Machalek, 2004)
|
|
Gambar 1. Bakteri Vibrio
harveyii dan Bioluminescens
|
Bakteri Vibrio
sp. adalah jenis
bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi. Menurut
Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang tumbuh
optimal pada air laut bersalinitas 20-40‰. Bakteri
Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic
fakultatif, yaitu dapat hidup
baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 - 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996).
2.2 Penyakit Vibriosis Udang
Windu
Genus Vibrio merupakan
agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang,
dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyerang
larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada
saat dalam keadaan stress dan lemah,
oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dan
koloni Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrol
mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkan
terbentuknya lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson et
al., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat akumulasi H2S
tersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah
berkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993
cit. Muliani, 2002).
A. Vibriosis postlarva udang windu
|
B. Koloni Vibrio sp. pada esophagus
|
|
Gambar 2. Udang Windu yang
Terserang Vibriosis (Breed et al., 1948)
|
Ciri-ciri
udang yang terserang vibriosis antara lain kondisi tubuh lemah, berenang
lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red
discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari
terlihat menyala (Sunaryoto et al., 1987). Udang yang terkena vibriosis
akan menunjukkan gejala nekrosis. Gambar 2 menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda)
dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi. Bagian mulut yang
kehitaman adalah kolonisasi bakteri pada esophagus dan mulut.
2.3 Patogenesis Bakteri Vibrio pada Udang Windu
Tingkat
kematian udang windu yang diinfeksi Vibrio harveyii
dengan kepadatan 103
cfu/ml berbeda berdasarkan umur. Pada stadia zoea I tingkat kematian udang
sebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan postlarva 1 (PL1) 69%, postlarva 2 (PL2)
51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit. Muliani, 2002).
Jiravanichpaisal et al., (1994) cit. Muliani (2002) melaporkan
bahwa mortalitas udang windu dewasa yang diinjeksi Vibrio harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor sebesar 100%,
dan udang yang diinfeksi dengan Vibrio harveyii isolat B-4
dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%.
A. Udang tampak normal
|
B. Udang berpendar pada
cahaya gelap
|
|
Gambar 3. Bioluminescens
Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948)
|
Tingkat patogenesis bakteri ditentukan oleh suatu
mekanisme dalam proses pertumbuhan. Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani
(2002) suatu mekanisme yang umum untuk mengontrol kepadatan populasi bakteri
gram negatif adalah dengan menghambat komunikasi antar sel. Kemampuan
komunikasi satu sama lain terjadi setelah mencapai quorum sensing yang
terjadi karena adanya suatu senyawa acylhomoserine lactone. Sifat
virulensi Vibrio harveyii
berkaitan erat
dengan fenomena bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.
2.4 Resistensi
Bakteri Vibrio terhadap Antibiotik
Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio
sp. masih menjadi fokus perhatian utama dalam produksi budidaya udang.
Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang adalah mahal dan merugikaqn karena
dapat memunculkan strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik serta munculnya
residu antibiotik dalam kultivan (Decamp dan Moriarty, 2006a). Antibiotik merupakan suatu senyawa kimia
yang sebagian besar dihasilkan oleh mikroorganisme, karakteristiknya tidak seperti
enzim, dan merupakan hasil dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang
berlebih pada
tubuh manusia dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik yang digunakan.
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat
tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlah
isolat Vibrio berpendar yang
diisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti
spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol,
eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik
bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang
Indonesia (Tompo et al., 2006).
2.5 Bakteri Antagonis
Salah satu pengendalian bakteri patogen adalah
mempertemukan dengan bakteri antagonisnya. Vershere et
al. (2000) cit. Isnansetyo
(2005) mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam perannya sebagai agen
pengendalian hayati melalui mekanisme menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawa
tertentu atau kompetisi tempat menempel,
mempertinggi respon imun inang, meningkatkan kualitas air dan adanya interaksi
dengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan sebagai agen pengendalian
hayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yang
diberikan dengan berbagai
cara sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat kesehatan inang.
Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006), pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan oleh organisme yang berbahaya atau pengaturan populasi penyakit
oleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan bahwa populasi
bakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekan
dengan cara mengintroduksikan bakteri
tertentu yang diisolasi dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan
udang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu menghambat Aeromonas
hydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V.
salmonisida, Yerisnia rockery (Austin et al., 1992), Lactobacillus
spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat
menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp.,
dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio
(Suprapto, 2005).
Bakteri Vibrio sp.
NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocin
atau senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance)
(Sugita et al., 1997 cit. Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalah
senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Ringo and Gatesoupe,
1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampu
menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena menghasilkan senyawa
2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang diisolasi dari
intestine ikan Callionymus sp. mampu menghambat Vibrio vulnificus RIMD
2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et al., 1998). Siderofor merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat
molekul rendah yang mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebut
merupakan kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu oleh mikroorganisme.
2.5 Udang Windu
Udang windu (Penaeus monodon)
merupakan udang komoditas asli daerah tropis yang telah berkembang menjadi
industri sejak awal dekade 1980-an. Nama windu dalam bahasa perdagangan adalah giant
tiger prawn, black tiger prawn
atau black tiger shrimp (Hadiwiyoto, 1993). Genus ini mudah
sekali dibedakan dengan genus-genus dengan melihat rostrumnya yang rumus 7/3,
artinya pada sisi atas tanduk terdapat 7 gigi sedang pada sisi bawah mempunyai
gigi 3. Badannya bergaris tengah rata-rata 1,5-5 cm. Menurut Tricahyo (1992), udang windu termasuk keluarga Arthropoda, klas
Crustacea, ordo Decapoda dan spesies Penaeus
monodon Fabr.
Gambar 4. Morfologi udang windu (Penaeus monodon)
(Rachmatun dan Mujiman, 1989)
Keterangan gambar: 1. Cangkang kepala; 2. Cucuk kepala; 3. Mata; 4. Sungut kecil
(antennules); 5. Kepet kepala (sisik sungut); 6. Sungut; 7. Alat-alat pembantu
rahang (maxilliped); 8. Kaki jalan (pereiopoda, 5 pasang); 9. Kaki renang
(pleopoda , 5 pasang); 10. Ekor kipas (uropoda); 11. Ujung ekor (telson).
Daur hidup udang Penaeus
menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur – telur – naupli
– protozoea – mysis – poslarva – juvenil – udang dewasa (gambar 5).
Gambar 5. Daur hidup udang
Penaeus (Wyban dan Sweeney, 1991)
Stadia
yang pertama adalah stadia nauplius yang terjadi setelah telur menetas. Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh
berupa kuning telur (Sirajudin, 1997). Stadia zoea terdiri dari 3 substadia
yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami alih bentuk 3 kali. Stadia mysis
dicirikan oleh bentuk
larva yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur (Tjahjadi, 1994). Selanjutnya stadia
mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama 5 hari pertama stadia
postlarva, udang masih bersifat
planktonis, dan pada stadia postlarva-6 udang
mulai merayap di dasar (Toro dan Soegiarto,
1979 cit. Tjahjadi,
1994).
IV. PEMBAHASAN
4.1 Manfaat Penggunaan Bakteri Antagonis
1. Ramah Lingkungan
Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi
bakteri sebagian besar bertumpu pada penggunaan
antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada
kenyataannya belum memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru
menimbulkan dampak negatif antara lain meningkatkan
resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi
et al., 1994), karena bakteri
sangat mudah mengembangkan sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudian
menjadi masalah utama di dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam jaringan
tubuh udang juga mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia.
Bergesernya paradigma konsumen udang menuju
keamanan pangan dan kelestarian lingkungan mengharuskan pembudidaya udang untuk
merevisi visi dan misinya agar budidaya tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai upaya untuk menjamin kelangsungan produksi,
mencegah dan menanggulangi penyakit vibriosis pada budidaya udang windu adalah melalui pendekatan pengendalian hayati. Pendekatan pengendalian hayati dilakukan melalui
penggunaan probiotik dengan menggunakan
aktivitas mikroorganisme yang dapat menekan atau mendegradasi substrat
pengganggu bagi organisme yang dibudidayakan tanpa menimbulkan dampak buruk
terhadap sistem keseimbangan ekologis mikrobia, ramah lingkungan, serta tidak
meninggalkan residu (food security dan food safety). Pengendalian
hayati dalam akuakultur dengan menggunakan probiotik antagonis salah satu cara
penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem
akuakultur yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan pada
berbagai tahapan akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan serta
terhadap berbagai patogen.
2. Mengurangi Penggunaan Antibiotik
Pengendalian
dan pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio harveyi sebagian besar bertumpu
pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan
hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif
antara lain meningkatkan resistensi
bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udang
digunakan untuk pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksis
dilakukan dengan pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka panjang.
Pada kenyataannya, usaha semacam ini tidak menekan penyakit, tetapi bahkan
menjadi pemicu resistensi patogen terhadap antibiotik.
Udang sebagai komoditas mewah perlu
mendapatkan perhatian khusus dalam hal ini, karena devisa yang didapat dari
udang cukup besar yaitu diperkirakan sekitar 630 juta dolar dan tertinggi
dibanding pendapatan dari spesies budidaya yang lain (Dahuri, 2004). Alasan
kedua adalah pasar ekspor udang sudah jelas. Akhir-akhir
ini ekspor udang terhambat oleh ecolabelling, petisi anti dumping dan
isu antibiotik. Sehingga harga udang jatuh pada akhir tahun 2003 (Suryadarma,
2004). Peristiwa ini cukup beralasan karena timbulnya kesadaran dari masyarakat
terhadap kesehatan dan lingkungan. Selanjutnya muncul kampanye di negara maju
untuk tidak makan udang tropis dengan alasan lingkungan. Menurut Isnansetyo (2005), pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting
karena dengan penggunaan bakteri
antagonis dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem
budidaya yang ramah lingkungan.
3. Aplikasi keamanan
hayati dalam Industri Budidaya Udang
Aplikasi keamanan
hayati dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar tambak tidak
terinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar tambak tidak menjadi
sumber penularan penyakit bagi tambak lainnya (Haris, 2007). Lebih lanjut Fegan
dan Clifford (2001) menambahkan bahwa aplikasi prinsip-prinsip keamanan
hayati pada tambak udang telah terbukti efektif membantu mengurangi
risiko kerugian karena penyakit dan dapat meningkatkan produksi. Haris (2007)
menambahkan bahwa salah satu penerapan keamanan
hayati pada praktik manajemen produksi budidaya adalah dengan aplikasi
teknologi probiotik yang ramah lingkungan. Metode ini diyakini menjadi solusi
terkini yang paling efektif mencegah risiko kerugian akibat penyakit.
Konsep aplikasi keamanan
hayati dalam budidaya udang diutamakan adalah pengendalian benih
udang (karantina vertikal) dan lingkungan (karantina horizontal) bebas dari patogen.
Sistem ini dipraktikkan dengan penebaran benih udang bebas patogen, SPF (specific
pathogen free) kedalam tambak yang sumber airnya dikontrol dengan baik
(Lightner, 2003). Aplikasi bakteri antagonis dapat digunakan sebagai alternatif
profilaksis yang tepat terhadap penggunaan bahan kimia, termasuk antibiotik dna
biosida. Bakteri antagonis dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalam
perebutan nutrisi makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen.
4.2. Pengembangan Bakteri Antagonis
Menurut Peraturan
Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995,
pengendalian hayati adalah setiap
organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis
serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi),
bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme
lainnya dalam semua tahap perkembangannya
yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan
lainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati
dapat dilakukan melalui:
1.
Seleksi Bakteri Antagonis
Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali
hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen, atau
mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi
awal ini, informasi tentang
keefektifan dan identitas calon agen
pengendali hayati perlu dikuasai
dengan baik agar pengembangannya di
masa datang tidak menjadi masalah. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentang
pengendalian Vibrio Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat bakteri penghambat yaitu
GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al.,
1998). Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat
GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.
Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikan
sebagai agen pengendalian hayati tetapi strain yang lain dalam spesies tersebut
mungkin tidak mempunyai kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogen
yang sama. Selain itu suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat
patogen tetapi strain lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai
pengendali hayati. Sebagai contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapat
digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam),
udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopneaeus
vannamei), walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus juga
diketahui sebagai patogen.
2.
Uji Efektivitas Bakteri Antagonis
Tahap
kedua adalah menguji keefektifan agen
pengendali hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen
target. Apabila suatu agen pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan
maka dilakukan tahap pengujian
terbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas bakteri
antagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999) terhadap isolat GSB-95030 dan
GSB-95033. Metode yang digunakan berupa sensitivity disc
agar (SDA) (Gambar 7).
Isolat GSB-95030 dan GSB-95033
6 botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl
3 botol GSB-95030 3 botol GSB-95033
Inkubasi 24, 72 dan 144 jam
Sentrifus 15 menit 3000 rpm
Ambil supernatan 5 ml
Kultur Vibrio
harveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA) secara merata
Rendam kertas sensitivity
disk selama 1 menit
dalam supernatan yang telah diencerkan
Letakkan kertas sensitivity disk pada tengah pelat agar
(kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam)
Inkubasi 24 jam 25 °C
Amati zona hambatnya
Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambat
terhadap pertumbuhan Vibrio harveyii
Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat
bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan perkembangan Vibrio
Harveyii. Hal ini terlihat dengan adanya
zona hambat di sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan larva udang dapat menekan
perkembangan Vibrio harveyii dengan skala pemeliharaan yang lebih besar.
Hasil aplikasi
pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan
larva udang dapat dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033
tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Vibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva udang windu sampai
kepadatan yang jauh lebih rendah yakni
5,3 x 102 cfu/ml
dengan sintasan 67,8% dan 9,9 x 102 cfu/ml
dengan sintasan 63,5%, dibandingkan
dengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml dengan sintasan lebih rendah 18,1%.
Tabel 1. Sensitivitas V.
Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan 24, 72, dan 144 jam
masa inkubasi
Isolat
|
Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii
|
||
24 jam
|
72 jam
|
144 jam
|
|
GSB-95030
|
0.60
|
0.71
|
0.80
|
GSB-95033
|
0.90
|
0.98
|
1.02
|
Kontrol
|
0.00
|
0.00
|
0.00
|
Sumber: Roza et al.,
1999
Apabila pada tahap ini kemampuan agen
pengendali hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang,
biasanya agen pengendali hayati harus diformulasikan
secara lebih baik. Dalam proses
pembuatan formula, semua bahan yang
digunakan harus dipastikan tidak akan
menimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan. Bila pada tahap lanjutan ini pun
calon agen pengendali hayati masih
menunjukkan potensi penekanan yang
stabil maka pengujian dalam skala lebih luas dapat dilaksanakan.
Tabel 2. Hasil aplikasi
pemanfaatan bakteri antagonis
Isolat
|
Percobaan 1
|
Percobaan 2
|
||||
Vibrio Harveyii
|
Sintasan larva
|
Vibrio Harveyii
|
Sintasan larva
|
|||
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
|||
GSB-95030
|
6,7
|
2,9a
|
63,5a
|
6,6
|
3,1a
|
59,2a
|
GSB-95033
|
6,7
|
2,7a
|
67,8a
|
6,6
|
3,0a
|
68,3a
|
Kontrol
|
6,7
|
5,0b
|
18,1b
|
6,6
|
4,9b
|
21,6b
|
Nilai
dalam kolom diikuti dengan huruf superskrip yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Sumber (Roza et al., 1999)
3.
Komersialisasi
Tahap terakhir adalah
komersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak
agen
pengendali hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang
lebih stabil dan terstandar. Pada
tahap akhir inilah data tentang analisis
risiko dari suatu agen pengendali
hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya. Beberapa
agens hayati berpeluang dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan identitas
dari bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data residu serta
toksisitas bagi lingkungan.
4.3 Aplikasi Bakteri
Antagonis
Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakan
mulai dari penyediaan pakan alami yaitu fitoplankon (S. Costatum) dan
zooplankon (Brachionus dan Artemia) pada pemeliharaan larva, post
larva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya pada stadium larva dan post
larva sangat tinggi karena sejak kecil udang terpapar dalam air yang banyak
mengandung mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalam
pembuatan pakan obat yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis.
Pakan tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh
udang, sehingga udang tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005)
menggunakan formulasi pakan obat dengan metode pembuatan sebagai berikut:
Probiotik antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5x103
sel/ml dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan
dengan cara menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C
dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg
selama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml physiological saline (0,85%
NaCl) sebanyak 2,5x105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang sama
dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengaduk
selama 30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25x103 sel/g pada
pakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak 10% (w/v).
Penciptaan lingkungan
pemeliharaan larva udang windu yang betul-betul bebas bakteri Vibrio sulit
dilakukan karena bakteri tersebut dapat masuk melalui berbagai sumber, antara lain
air laut, induk udang, dan makanan alami. Bakteri Vibrio harveyii
tidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi hanya perlu dikendalikan
populasinya pada batas aman, yaitu kurang dari l04 sel/ml. Inokulasi secara
langsung dilakukan melalui pemberian bakteri antagonis kedalam bak pemeliharaan
dengan
dosis 106 cfu/ml setelah dilakukan pergantian air (Susanto et al., 2005). Aplikasi bakteri antagonis dapat
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu jangka pendek (short duration), panjang (prolonged
treatment),
dan tidak terbatas (indefinite treatment).
4.4 Nilai Ekonomis Udang Hasil Budidaya
Prospek pengembangan udang windu sebagai komoditas asli Indonesia mempunyai
peluang bisnis yang cerah. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya luas
lahan budidaya tambak udang Indonesia sampai tahun 2002 mencapai 913.000 ha
dengan pemanfaatannya baru mencapai 411.230 ha (45,43%). Pemerintah mentargetkan
produksi udang windu budidaya tahun 2007-2009, masing-masing sebesar 126.228
ton; 146.615 ton; dan 162.355 ton (DKP, 2006 cit. Kordi 2007) dengan target
perolehan devisa sebesar US $ 8 milyar/th.
Menurut Dahuri (2004), potensi lestari perikanan tangkap dilaut bernilai
rata-rata 6,4 jt ton/th, sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan hanya sebesar
80%-nya saja (sekitar 5,12 jt ton/th). Untuk dapat memenuhi kebutuhan pasaran
dunia, Indonesia akan mengintensifkan lahan air payau untuk budidaya udang. Saat
ini ditaksir luas lahan budidaya udang Indonesia mencapai 1.000.000 ha sehingga
langkah awal yang ditempuh, apabila 500.000 ha dapat diusahakan sebagai tambak
udang windu organik dengan rata-rata produksi sebesar 2 ton/ha/th, maka
produksi udang nasional sebesar 1.000.000 ton/th dengan nilai ekspor 1.000.000
ton/th × US $ 8 /kg = US $ 8 milyar/th dapat dicapai.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
- Pengendalian hayati pada budidaya udang windu merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat mengurangi penggunaan antibiotik
- Pengembangan bakteri antagonis sebagai langkah keamanan hayati dilakukan melalui tahap seleksi bakteri antagonis nonpatogen, pengujian efektivitas dan uji lapang, serta komersialisasi agen pengendali hayati.
- Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik sehingga aplikasi bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik Indonesia.
5.2 Saran
1. Beberapa jenis bakteri antagonis telah diketahui,
namun bakteri antagonis tersebut bersifat spesifik di setiap daerah. Oleh
karena itu, perlu dilakukan inventarisasi potensi agar bakteri antagonis dapat
dimanfaatkan optimal.
2. Perlunya kerjasama terpadu antara berbagai pihak,
pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha untuk memajukan budidaya udang
windu Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus
Penyakit Udang di Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono.,
S. Ismawati. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19
Juli. Maros.
Anonim. 2000. Bioluminessence. http://lux.ibp.ru/info/history_html_652ca394.jpg. [4
Januari 2008].
Anonimous,
2004c. Draf Pedoman Umum Pengendalian
Pencemaran di Kawasan Budidaya Perikanan.
Subdit Pengendalian Pencemaran Laut, Direktorat Bina Pesisir Ditjen
P3K Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Austin,
B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmis
suecica. J. Fish of
Disease: 15: 53-61.
Breed, R.S.,
E.G.D. Murray and A.P. Hitchens. 1948. Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology. 6th ed. Baltimore: Wevereley Press.
Dahuri, R. 2004.
Perkembangan dan Harapan Pembangunan Perikanan Budidaya Indonesia ke Depan.
dalam Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan Teknologi Akuakultur. Agung
Sudaryono et al (ed.). Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia.
Decamp,
O. Adn D.J.W. Moriarty. 2006a. Probiotics as Alternative to
Antimicrobials: Limitations and Potential. World Aquaculture: Dec, 2006. Vol 37
(4): 60-62.
Egidius,
E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28.
FAO. 1988 Guidelines for the
Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp.
FAO. 1997. Code of Conduct For The
Import And Release of
Exotic Biological Control Agents. Biocontrol News and
Information 18(4): 119N-124N.
Fegan, D.F. and H.C. Clifford III. 2001. Health
Management for Viral Diseases in Shrimp Farms. In C.L. Browdy and D.E.
Jory, editors. The New Wave, Proceedings of the Special Seassion on Sustainable
Shrimp Culture. Aquaculture 2001. The World Aquaculture Society, Baton Rouge,
Lousiana, USA.
Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture.
180:147-185.
Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999.
Inhibition of Vibrio anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment of
Fish. Appl. Environ. Microbiol.: 123: 31-32.
Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas
Bakteri Vibrio
Harveyii Pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Hadiwiyoto,
S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.
Haris, E. 2007. Terobosan Baru dalam Produksi Udang yang
Berkelanjutan dan Aman. Makalah Presentasi Konferensi Aquaculture Indonesia.
Surabaya, 5-7 Juni 2007. Masy. Akuakultur Indonesia. 7 hal.
Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik
Vibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T.
Williams. 1994.
Bergey's Manual of
Determinative Bacteriology. Ninth Edition_ Williams and Wilkins, Balmore,
Maryland, USA. 373.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta:
Gadjahmada
University Press.
Isnansetyo, A. 2005. Bakteri Antagonis sebagai
Probiotik untuk Pengendalian Hayati pada Akuakultur. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 1-10.
Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp.
as the Prebiotic Bacteria In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.
Kamei, Y. and A. Isnansetyo. 2003. Lysis of Methicilin-Resistant Staphylococcus
aureus by 2,4-diacetylphloroglucinol Produced By Pseudomonas sp.
AMSN Isolated From Marine Alga Int. J. Antimicrob Agents: 21: 71-74.
Kordi, M.G.H. 1997.
Budidaya Air Payau. Semarang: Dahara Prize.
Lightner,
D.V. 2003. Exclusion of Specific Pathogens for Disease Control in a Penaid
Shrimp Biosecurity Program. In C.S. Lee and P.J. O’Bryen, editors.
Biosecurity in Aquaculture Production Systems; Exclusion of Pathogens and Other
Undesirables. The World Aquaculture Society,
Baton Rouge, Lousiana, USA.
Machalek, A.Z. Bugging the Bugs. http://publications.nigms.nih.gov/biobeat/05-09-20/05-09-20-01.jpg.
[18 April 2008].
Muliani. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Asal Laut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease in
Indonesia with Special Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School of
Ocean Science. University of North Wales.
Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang
Akibat Perlakuan Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Rahmatun,
S. dan Ahmad Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Roza,
D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrio
harveyi Secara Biologis pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon): Aplikasi
Bakteri Penghambat. J. Penelitian Perikanan
Indonesia: 4 (2) : 24-30.
Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting Bakau (Scyila serrata Forsskal)
Melalui Disinfeksi Induk Selama
Fengeraman Telur. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34.
Suprapto, H. 2005. Studi
Pendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi Jumlah
Bakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 54-59.
Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of Instinal
Bacteria I Fresh Water Cultured Fish. Aquaculture: 145: 195-203.
Suryadarma, J. 2004.
Manis Getirnya Eksportir Produk Akuatik Indonesia. di dalam: Agung
Sudaryono et al (ed.). Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan
Teknologi Akuakultur; Semarang.
Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia. 249-251.
Susanto, B., L Setyadi, D. Syahidah, M. Marzuki dan Rusdi. 2005.
Penggunaan Bakteri Probiotik
Sebagai Kontrol Biologi dalam Produksi Massal Benih Rajungan (Portunus
pelugicus). J. Perikanan Indonesia: 11 (1): 15-23.
Tangko, A.M., A. Mansyur,
dan Reski. 2007. Penggunaan Probiotik pada Pakan Pembesaran Bandeng dalam
Keramba Jaring Apung di Laut. J. Riset Akuakultur: 2: 33-40.
Tepu, I. 2006. Seleksi
Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu Penaeus
monodon Menggunakan Cara Kultur Bersama. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tjahjadi, M.R. 1994.
Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi Penyakit
Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Tompo, A., E.
Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et. al. Pengaruh
Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeus
monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249.
Tricahyo, E. 1992. Biologi dan Kultur Udang Windu. Jakarta:
Akapress.
Wyban, J.A., dan Sweeney, J.N., 1991. Intensive Shrimp Production
Technology. Hawai: The Oceanic Institute.
Lampiran 1. Karakteristik dua isolat bakteri
antagonis dibandingkan dengan Flavobacterium meningosepticum menurut Cowan
(1974) dan Acuigrup (1980) serta Vibrio alginolyticus menurut Bauman et
al., (1984) dan Holt et al., (1994)
Karakteristik
|
Isolat GSB-95030
|
V. algino Bauman et al. (1984)
|
V. algino
Holt et al. (1984)
|
Isolat
GSB-95033
|
F. mening. Cowan
(1874)
|
F. mening. Acuigrup
(1980)
|
Pewarnaan Gram
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Gerakan pada MA
|
+
|
+
|
+
|
-
|
-
|
Nt
|
Katalase
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Oksidase
|
+
|
+
|
F
|
O
|
Nt
|
O
|
Uji O-F
|
F
|
F
|
+
|
-
|
-
|
+
|
Motility
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
H2S
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
-
|
Indol
|
+
|
+
|
||||
Gas dari glukosa
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
L arginin
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
L ornitin
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Lysin
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Gelatin
|
+
|
+
|
+
|
-
|
+
|
-
|
Asam dari
|
||||||
Arabinose
|
-
|
-
|
+
|
Nt
|
+
|
|
Glucose
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Lactose
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sucrose
|
+
|
+
|
+
|
-
|
-
|
Nt
|
Xylose
|
-
|
-
|
Nt
|
-
|
Nt
|
-
|
Bercahaya
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Tumbuh pada
|
||||||
SS agar
|
Nt
|
Nt
|
Nt
|
-
|
-
|
Nt
|
MC agar
|
Nt
|
Nt
|
Nt
|
+
|
+
|
Nt
|
TCBS agar
|
Y
|
Y
|
Y
|
-
|
-
|
-
|
Tumbuh(0C)
|
||||||
30
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
35
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
42
|
+
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
Pigmentasi
|
-
|
-
|
-
|
Y
|
Y
|
Y
|
+
= positif - = negatif Nt = tidak diuji
O = oksidatif F = fermentative Y
= kuning
Sumber: Roza et al., 1999
Lampiran 2. Komposisi bahan dalam setiap gram Haimix-S/g
Komposisi
|
Kandungan
|
Lactobacillus Powder
|
4x105 cell
|
Dextrose
|
80 mg
|
Ascorbic Acid
|
3 0 mg
|
Biodiastase
|
1 5 mg
|
Nicotinamide
|
1 0 mg
|
Lycine HCl
|
10 mg
|
Dibasic
|
10 mg
|
Dextrine
|
10 mg
|
Mononitrate
|
2 mg
|
Pan totenate
|
2 mg
|
Lactose
|
1 mg
|
Vitamin B
|
1 mg
|
Vitamin E
|
1 mg
|
Folic Acid
|
0.5 mg
|
Vitamin A
|
2,500 lu
|
Vitamin D
|
200 Iu
|
Sumber : Yastar International Co. Ltd
Singen cit. Tangko et al., 2007