Pengetahuan dasar yang sangat dibutuhkan bagi pelaksana budidaya udang dan ikan dalam hubungannya dengan hasil produksi adalah data pertumbuhan. Laju pertumbuhan dari suatu makhluk hidup dapat dinyatakan sebagai peningkatan panjang, volume, bobot basah dan kering persatuan waktu. Pertumbuhan udang biasanya dinyatakan dalam kenaikan bobot basah. Hal ini dimaklumi karena hasil panen dan pemasarannyadinyatakan dalam bobot. Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan udang adalah :
1. Faktor dalam (internal factor), yaitu faktor keturunan (genetik), jenis kelamin, dan umur udang
2. Faktor luar (eksternal factor), yaitu makanan, persaingan, pemangsaan, penyakit, serta faktor lingkungan hidup lainnya.
Pertumbuhan pada udang berbeda dengan jenis makhluk yang lain, udang tumbuh secara tiba – tiba pada setiap rangkaian pergantian kulit (moulting). Meskipun pergantian udang erat dengan kulit, akan tetapi dapat saja tidak diikuti dengan pertumbuhan. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena keadaan gizi makanan tidak seimbang dan stress.
TEKNIK MEMPERCEPAT PERTUMBUHAN UDANG
Secara alami udang tumbuh diperairan laut yang didahului dengan proses ganti kulit (moulting). Fenomena ini merupakan indikasi awal pertumbuhan hewan golongan crustacea. Proses tersebut merupakan salah satu sifat biologis udang yang berlangsung secara periodik (dari telur – larva s.d dewasa).
Terdapat dua jenis faktor yang mempengaruhi timbulnya proses moulting pada udang, yaitu : (i) pengruh kondisi lingkungan luar seperti intensitas sinar matahari, salinitas, suhu, O2, dan pH; (ii) pengaruh makanan dan aktivitas makan udang; (iii) jenis kelamin
Udang betina umumnya memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih cepat dari pada udang jantan. Perbedaan pertumbuhan udang betina dan udang jantan diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah makanan sebab udang betina aktivitas makannya lebih tinggi dari udang jantan.
Laju pertumbuhan udang juga dapat dilihat dari pertumbuhan panjang carapace dan pertumbuhan panjang total dari berat tubuh. Carapace udang setiap hari akan bertambah sekitar 0,3 – 0,7 mm.
Dalam pertumbuhannya, udang windu mengalami beberapa pergantian kulit (moulting). Pergantian kulit ini selain dimaksudkan untuk menambah ukuran volume ruang yang terbentuk juga untuk menghadapi proses perkawinan dan untuk mengatasi kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.
Sebelum terjadi moulting (masa persiapan moullting), nafsu makan udang biasanya menurun dan pada permukaan tubuhnya sudah terbentuk sebagian kulit baru di bawah kulit lama. Apabila keadaan gizi pakan cukup seimbang, maka frekuensi pergantian kulit akan lebih sering terjadi. Apabila pakan yang diberikan mengandung cholesterol sebagai zat pembentuk hormon moulting (MH), frekuensi moulting akan meningkat. Interval moulting bagi udang muda lebih pendek dari pada udang dewasa, dimana semakin besar udang maka frekuensi moulting semakin menurun.
Selama pergantian kulit, chitin dan protein pada lapisan epidermis lama diserap kembali oleh kulit. Sedangkan bahan organik yang lain tidak diserap. Segera setelah pergantian kulit, kulit yang baru akan diperkuat dan penyimpanan calcium akan segera dilakukan pada kulit yang baru. Pertukaran calcium antara cairan tubuh dengan media sekitarnya dilakukan melalui insang dengan laju 90% diserap dan 70% dilepaskan. Penyimpanan calcium akan terus berlangsung selamam ganti kulit.
Prinsip dari metode mempercepat pertumbuhan udang sebenarnya mengambil manfaat dari fenomena moulting tersebut yaitu makan setelah moulting. Pada proses moulting, aktivitas makan udang menurun, dan setelah selesai moulting aktvitas makannya tinggi sekali sebagai akibat tahap starvasi (pemuasan) selama masa moulting. Nafsu makan setelah moulting dapat dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan udang dengan cara pemberian pakan optimal dan bergizi tinggi sesuai dengan masa pemeliharaan udang. Dengan demikian prinsip metode mempercepat pertumbuhan udang windu adalah menimbulkan proses moulting pada udang windu sesuai dengan daur siklus biologis udang dengan memasukan input faktor makanan yang dapat memacu pertumbuhan udang.
Faktor lingkungan luar yang berpengaruh terhadap moulting antara lain salinitas air laut. Moulting dapat berlangsung baik pada air lauut yang bersalinitas tinggi maupun yang bersalinitas rendah. Pada salinitas tinggi, konsentrasi garam – garam air laut sangat meningkat termasuk garam calcium dan posphor amat diperlukan untuk pengerasan cangkang selama proses moulting sehingga mengakibatkan cangkang udang sangat keras.
Kondisi cangkang udang yang cukup keras ini mengakibatkan proses pergantian kulit (moulting) berikutnya sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena udang harus merobek cangkangnya sendiri untuk memacu pertumbuhan udang karena proses moulting tersebut. Salinitas air yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan udang karena proses moulting itu sendiri sangat sulit dilakukan.
Pada salinitas rendah, proses moulting dapat berlangsung secara aman, tanpa mengganggu pertumbuhannya. Cairan tubuh udang saat moulting dapat memperlancar proses osmoregulasi (pertukaran garam – garam air laut kedalam cairan tubuh udang ). Dengan adanya cairan ini, pada saat terjadi moultingudang dapat dengan mudah merobek cangkang yang lama. Kekerasan cangkang dapat dilunakan dengan kondisi media sekitarnya yang bersalinitass rendah.
Setelah terjadi moulting, udang akan mengalami kelaparan sebagai akibat dari fase starvasi (pemuasan) selama proses moulting. Kondisi tersebut dapat digunakan untuk memacu pertumbuhannya dengan cara pemberian pakan semaksimal mungkin dan berkadar protein tinggi. Dengan demikian dalam budidaya udang, faktor – faktor yang dapat diatur untuk menimbulkan terjadinya proses moulting adalah faktor salinitas dan komposisi pakan.
Untuk memperoleh salinitas air laut yang rendah, langkah – langkah yang dilakukan adalah dengan pengenceran air tambak dengan melakukan penambahan air tawar kedalam tambak.
Tabel 1. Metode lapangan untuk memacu moulting
Umur udang | Salinitas permulaan | Salinitas baru (memacu moulting) | Monitoring kondisi udang, sebagai indikasi untuk memacu moulting | Penambahan air tawar setinggi | |
Tinggi air tambak | Tinggi air tambak baru setelah penambahan | ||||
Misal : 2 bulan (60 hari) | 26 ppt | 24 ppt | - Nafsu makan turun - Daya renang turun - Jumlah pakan di anco - Anco selama 3 – 4 hari | 100 cm | 120 cm |
75 hari | 24 ppt | 22 ppt | idem | 120 cm | 150 cm |
90 hari | 22 ppt | 20 ppt | idem | 150 cm | 170 cm |
. | | | | | |
. | | | | | |
dst | | | | | |
Selain salinitas rendah, cholesterol (minyak ikan) sebagai zat pembentuk moulting dapat ditambahkan kedalam makanan udang untuk mendorong terjadinya proses moulting. Dalam makanan, dapat pula ditambahkan dengan ampas biji teh (saponin) untuk mendorong terjadinya proses moulting.
Dalam pertumbuhannya, larva udang windu mengalami perubahan bentuk dan moulting berkali – kali. Pada proses pergantian kulit tersebut sebenarnya faktor lingkungan yang mempengaruhi tidak berdiri sendiri – sendiri akan tetapi faktor – faktor tersebut secara bersama – sama mempengruhi terjadinya proses terjadinya moulting. Rangsangan lingkungan yang mendorong terjadinya proses moulting terdiri dari internal factor dan eksternal factor.
Makanan sebagai internal factor merupakan faktor pertama yang mempengaruhi proses moulting, dimana kandungan nutrisi dari pakan udang yang lengkap dan bergizi tinggi, terutama yang banyak mengandung cholesterol dalam pakan akan dapat mendorong tubuh udang untuk memproduksi zat pembentuk hormon moulting (Moulting Hormon = MH).
Terdapat dua jenis hormon yang mempengaruhi proses moulting didalam tubuh udang, yaitu
1. Hormon pencegah moulting (moulting inhibiting hormon = MIH) yang dikeluarkan dari organ x pada tangkai mata.
2. Hormon moulting (MH) yang dikeluarkan dari organ y yang terdapat pada ruas antenna (sungut).
Faktor berikutnya yang secara bersama mendorong terjadinya proses moulting adalah eksternal factor yaitu cahaya, suhu, dan salinitas. Biasanya udang mengalami moulting pada malam hari yaitu pada saat kondisi makanan, suhu, sinar dan salinitas sesuai. Informasi – informasi faktor lingkungan tersebut diteruskan ke mata dan pada otak bagian kepala, tepatnya di thoracix ganglion yang menghasilkan organ y sebagai zat pembentuk hormon moulting.
Kebiasaan udang melakukan moulting pada malam hari menandakan bahwa udang menghendaki intensitas cahaya, suhu serta salinitas rendah. Apabila organ y telah terbentuk hormon moulting yang diperoleh dari makanan yang mengandung cholesterol (internal factor), meskipun pada organ x terdapat MIH, asalkan lingkungan sudah sesuai maka informasi tersebut akan terus dilanjutkan dari organ x ke organ y sehingga udang terdorong untuk moulting.
Fenomena moulting ini bersifat periodik, karena untuk pertumbuhan udang harus memperluas volume tubuhnya dengan cara berganti kulit. Proses pertumbuhannya tersebut harus dibantu dengan penyerapan sejumlah besar air. Dengan adanya kapasitas volumetubuh yang demikian , maka sangat memungkinkan untuk pertumbuhan sel – sel tubuh udang secara maksimal.
MONITORING
Keberhasilan budidaya udang adalah sangat ditentukan oleh perhatian yang besar dari pengelolanya. Pengelolaan harus cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan atau penyimpangan yang terjadi. Oleh karena itu, monitoring setiap saat secara terus menerus harus selalu dilakukan (terutama pada setiap pemberian pakan).
Monitoring pertumbuhan udang untuk mengetahui laju pertumbuhannya dilakukan dengan cara mencatat data pertumbuhan udang pada blanko monitoring pertumbuhan yang dilakukan per minggu dengan sampling ukuran udang pada anco (tempat makan udang). Monitoring dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali sampling, dimana hasil pengukuran tersebut dibandingkan normal udang sehingga nantinya akan diketahui apakah terjadi stagnasi pertumbuhan atau tidak.
Pertumbuhan normal udang windu dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Pertumbuhan normal udang windu (Penaeus monodon)
Densitas Ekor/m2 | Umur (hari) | ||||||||||||||
40 | 50 | 60 | 70 | 80 | 90 | 100 | 110 | 120 | 130 | 140 | 150 | 160 | 170 | 180 | |
20 e/m2 | 2,5 | 5,0 | 7,0 | 9,0 | 10,0 | 12,0 | 14,0 | 17,0 | 20,0 | 23,0 | 26,0 | 30,0 | 34,0 | 36,0 | 38,0 |
25 e/m2 | 2,0 | 3,5 | 5,5 | 7,5 | 9,0 | 10,0 | 11,0 | 13,0 | 15,0 | 18,0 | 21,0 | 25,0 | 28,0 | 31,0 | 33,0 |
Tabel 3. Pertumbuhan normal udang windu (Penaeus monodon)
Hari Ke | Berat (gram) |
0 | 0,02 |
20 | 2,0 |
40 | 10,0 |
60 | 17,0 |
80 | 24,8 |
100 | 30,0 |
120 | 39,0 – 40,0 |
160 | 44,0 – 50,0 |
Tabel 4. Blanko monitoring pertumbuhan (sampling ukuran/ size)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar